Bangka Belitung, Polda Kep Babel

“Mereduksi Polarisasi” oleh : Kombes Kristanto Yoga D (Direktur Pamobvit Polda Kep.Babel)

Lintasan – Babel. Di negara demokrasi sebesar Indonesia siklus 5 tahunan yang kemudian diistilahkan sebagai tahun politik, kerap kali diwarnai dengan situasi yang sangat dinamis. Proses perpolitikan yang termaktub dalam konstitusi ini mengatur dan memprasyaratkan tentang adanya kegiatan pesta demokrasi, mulai dari Pilpres, pileg maupun pilkada, yang akan menguat aktifitasnya menjelang tiap tahun ke 5. Kedaulatan ada ditangan rakyat, sebuah ungkapan dari bahasa latin yakni vox populi, vox dei yang artinya suara rakyat adalah suara Tuhan, terkandung maksud bahwa suara rakyat harus dihargai sebagai penyampai kehendak ilahi.

WNI yang telah memenuhi persyaratan untuk dianggap sebagai pemilik hak suara adalah pemegang kedaulatan tertinggi dalam pesta demokrasi. Mereka diberikan kesempatan untuk memilih para pemimpin eksekutif (Presiden dan Wakil Presiden serta kepala daerah) dan legislatif (pusat, Provinsi dan Kabupaten/Kota) di negara ini.

Para bakal calon dan parpol yang dinaunginya memberikan pertunjukan dan aksi yang hendaknya diharapkan bisa memikat hati para pemilih dengan beragam cara. Janji-janji, visi dan misi serta program kerja disusun sedemikian rupa, bertujuan untuk menyihir para konstituennya hingga terpana dan menganggap layak serta pantas untuk dipilih. Pendekatan demi pendekatan terus dilakukan dengan memanfaatkan banyak cara seperti melalui komunitas, kesamaan hobi, asal daerah, gender dsb. Mulai dari secara virtual, yakni menggunakan kekuatan media sosial untuk membuat jejaring hingga pertemuan tatap muka dilakukan sebagai sarana untuk merebut dan mendapatkan suara rakyat. Lagi-lagi objeknya adalah rakyat.

Untuk mengatur pelaksanaannya, dibuatlah tata tertib sebagai rule of game yang tertuang dalam aturan yang telah ditetapkan dengan terang dan disepakati untuk ditaati oleh para kontestan serta para parpol peserta yang berlaga.

Mekanismenya juga jelas, ada badan yang bertugas untuk menyelenggarakan pemilihan, ada yang bertugas untuk mengawasi serta memberikan sanksi (jika terdapat pelanggaran) dan ada yang diberikan mandat untuk memutus perselisihan jika sampai ke ranah peradilan.

Adanya fungsi pengawasan dalam pemilu tentu diperlukan sebagai bagian dari ruh demokrasi yang diharapkan bisa menjadi wasit agar dapat teguhnya etika dan norma demi mulianya demokrasi Pancasila di negara kita.

Namun demikian, kebebasan berdemokrasi kerap diartikan sebagai keleluasaan untuk menyampaikan aspirasi dan melakukan aksinya demi kepentingan sekelompok atau golongan orang semata.

Tanpa bermaksud tendensius, kegiatan- kegiatan membangun jejaring-pun berubah menjadi penghakiman masal. Politik identitas, black campaign masih berseliweran yang kemudian menimbulkan polarisasi melalui labelingnya dan merupakan agenda setting bagi yang berkepentingan.

Mereka terlena dan melupakan hakikat hubungan yang dibangun dalam kemanusiaan, keteraturan sosial dan peradaban. Padahal “Kebiasaan yang baik membawa kita pada hati nurani yang baik”. Kebiasaan sebagai sesuatu yang telah terpola, berulang dari waktu ke waktu untuk mengerjakan sesuatu yang terstruktur.

Kebiasaan hampir-hampir mendekati insting (reflek), kalau dilatih terus menerus akan menjadi suatu kepekaan dan keahlian. Ya, keahlian dan kebiasaan untuk menampilkan proses politik yang santun, menjunjung tinggi etika, moralitas dan semangat kebangsaan yang tinggi.

Dialektika yang dibangun hendaknya selalu berdiri diatas perbedaan namun satu jua, seperti semangat yang terkandung dalam bhineka tunggal ika dan merupakan falsafah bangsa kita sekaligus penguatan identitas bangsa.

Dalam pesta demokrasi 5 tahunan itu, Polri dituntut untuk bisa menjadi dinamisator agar tidak “memanasnya” situasi di tahun Politik. Polri bekerja sebagai cooling system yang tentunya dengan tujuan demi terpeliharanya kemanan dan ketertiban masyarakat. Melalui berbagai upaya pemolisiannya Polri bekerja pada ranah keamanan negara, yang kemudian pada pelaksanaannya bisa meminta perbantuan dari Instansi lain, seperti TNI.

Kedua Instansi ini seluruh personel aktifnya (non PNS) tidak memiliki hak suara dan berpolitik praktis dalam pemilu seperti yang telah diatur dalam Undang-undang. Tugas Polri dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat tidak terkotak-kotakan dalam situasi dan kondisi apapun. Tidak ada pendikotomian untuk hal tersebut, karena demikianlah amanat dalam Undang-undangnya. Polri hadir disetiap sendi kehidupan bernegara baik diranah birokrasi maupun masyarakat termasuk menjamin aman dan damainya pelaksanaan pesta demokrasi yang akan dihelat.

Diantaranya melalui pendekatan lunak (soft approach), dengan metode pre-emtif yang dikedepankan sebagai langkah antisipatif. Salah satunya melalui kegiatan sambang kepada para pihak-pihak yang memiliki follower dan pengaruh luas pada ruang lingkupnya masing-masing. Sambang yang bisa dimaknai mendatangi, menemui atau menjenguk ini memiliki filosofi yang cukup dalam yaitu membangun kedekatan.

Kedekatan yang kemudian konteksnya adalah sebagai upaya persuasi mengajak para tokoh yang disambangi untuk ikut menyuarakan kedamaian meskipun dalam kontestasi politik, yang kemudian diharapkan pesan nya bisa berantai dan digetuk-tularkan kepada para simpatisan, jemaah, umat maupun epigonnya untuk di indahkan. Sambang merupakan bagian dari kearifan lokal dan budaya yang lazim dilakukan (tergantung yang mengkonotasikan), sekaligus sebagai upaya mitigasi adanya potensi gangguan terhadap tahapan-tahapan dalam pemilu. Relasi-relasi yang dibangun melalui sambang, juga diharapkan dapat memunculkan nuansa kebatinan dan membawa pesan untuk tetap mengutamakan keutuhan bangsa serta negara daripada kepentingan pribadi/golongan yang menjurus kearah destruktif.

Sambang, bisa menjadi penyejuk suasana ketika dilakukan dengan cara-cara yang disesuaikan dengan kearifan lokal. Tehnik, materi dan gestur yang dibawakan oleh personel yang melakukan sambang ikut membawa dampak terhadap tujuan yang ingin dicapai, tentunya outputnya adalah agar dapat mengurangi efek negatif dari polarisasi yang jika dibiarkan akan menjadi residu pada saat dan pasca pemilihan.

Namun demikian, kesadaran-kesadaran positif yang ditimbulkan secara individu untuk kemudian berkembang menjadi kesadaran kolektif, hendaknya bisa dimiliki juga oleh seluruh pihak. Mulai dari netralitas penyelenggara negara, silaturahmi antar partai politik, komitmen para balon atau paslon, integritas penyelenggara pemilu, media dan tentunya kesadaran seluruh masyarakat Indonesia untuk ikut menjaga keutuhan bangsa serta merawat kebhinekaan (baik sebagai citizen maupun netizen).

Kedewasaan berdemokrasi timbul menjadi Kesadaran akan pentingnya persatuan dan kesatuan bahkan memunculkan gagasan baru, yaitu politik harapan yang mampu memenuhi seluruh aspirasi dan asa seluruh konstituen pada khususnya serta rakyat Indonesia pada umumnya.

Mari bersama ciptakan pemilu damai menuju Indonesia maju !!!

[Lintasan/Dony]

Leave a Reply